Sabtu, 24 Desember 2011

filsafat


BAB II
PEMBAHASAN
ISLAMISASI ILMU
A.    PENGERTIAN ISLAMISASI ILMU
Islamisasi ilmu pengetahuan pada dasarnya adalah suatu respon terhadap krisis masyarakat modern yang disebabkan karena pendidikan Barat yang bertumpu pada suatu pandangan dunia yang lebih bersifat materialistis, sekularistik, relevistis; yang menganggap bahwa pendidikan bukan untuk membuat manusia bijak yakni mengenali dan mengakui posisi masing-masing dalam tertib realitas tapi memandang realitas sebagai sesuatu yang bermakna secara material bagi manusia, dan karena itu hubungan manusia dengan tertib realitas bersifat eksploitatif bukan harmonis. Ini adalah salah satu penyebab penting munculnya krisis masyarakat modern.[1]
Islamisasi ilmu pengetahuan mencoba mencari akar-akar krisis tersebut. Akar-akar krisis itu diantaranya dapat ditemukan didalam ilmu pengetahuan, yakni konsepsi atau asumsi tentang realitas yang dualistis, sekularistik, evolusioneristis, dan karena itu pada dasarnya bersifat realitifitas dan nihilistis. Islamisasi ilmu pengetahuan adalah suatu upaya pembebasan pengetahuan dari asumsi-asumsi atau penafsiran-penafsiran Barat terhadap realitas, dan kemudian menggantikannya dengan pandangan dunia islam.
Tetapi sejauh mana gagasan ini dapat dijalankan, dan betul-betul menjadi solusi terhadap krisis masyarakat modern, barangkali sejarah yang akan membuktikannya. Apapun hasilnya nanti, gagasan ini saya kira perlu mendapat sambutan terutama dari mereka yang memiliki kepentingan dengan kondisi masyarakat modern. Selain itu Islamisasi ilmu pengetahuan juga muncul sebagai reaksi adanya konsep dikhotomi antara agama dan ilmu pengetahuan yang dimasukkan masyarakat Barat dan budaya masyarakat modern. Masyarakat yang disebut terakhir ini misalnya memandang sifat, metode, setruktur sains dan agama jauh berbeda, kalau tidak mau dikatakan kontradiktif (bagaimana seharusnya). Sedangkan sains meneropongnya dari segi objektifnya (bagaimana adanya). Agama melihat problematika dan solusinya melalui petunjuk Tuhan, sedangkan sains melalui eksprimen dan rasio manusia. Karena ajaran agama diyakini sebagai petunjuk Tuhan, kebenaran dinilai mutlak, sedangkan kebenaran sains relatif. Agama banyak berbicara yang gaib sedangkan sains hanya berbicara mengenai hal yang empiris.
            Dalam perspektif sejarah, sains dan teknologi modern yang telah menunjukkan keberhasilannya dewasa ini mulai berkembang di Eropa dalam rangka gerakan reaisans pada tiga atau empat abad yang silam. Gerakan ini berhasil menyingkirkan peran agama dan mendobrak dominasi gereja Roma dalam kehidupan sosial dan intelektual masyarakat Eropa sebagai akibat dari sikap gereja yang memusuhi ilmu pengetahua. Dengan kata lain ilmu pengetahuan di Eropa dan Barat mengalami perkembangan setelah memisahkan diri dari pengaruh agama. Setelah itu berkembanglah pendapat-pendapat yang merendahkan agama dan meninggikan sains. Dalam perkembangannya, sains dan teknologi modern dipisahkan dari agama, karena kemajuaannya yang begitu pesat di Eropa dan Amerika sebagaimana yang di saksikan sampai sekarang. Sains dan teknologi yang demikian itu selanjutnya digunakan untuk mengapdi kepada kepentingan manusia semata-mata, yaitu untuk tujuan memuaskan hawa nafsunya menguras isi alam untuk tujuan memuaska nafsu konsomtif dan materealistik, menjajah dan menindas bangsa-bangsa yang lemah, melanggengkan kekuasaan dan tujuan lainnya.
Penyimpangan dari tujuan pengguanaan ilmu pengetahuan itulah yang direspon melalui konsep Islamisasi ilmu pengetahuan, yaitu upaya menempatkan sains dan teknologi dalam bingkai Islam, dengan tujuan agar perumusan dan pemanfaatan sains dan teknologi itu ditunjukkan untuk mempeetinggi harkat dan martanat manusia, melaksanakan fungsi kekhalifahannya dimuka bumi serta tujuan-tujuan luhur lainnya. Inilah yang menjadi salah satu misi Islamisasi ilmu pengetahuan.
B. STRATEGI ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN
Terjadi pemisahan agama dari ilmu pengetahuan sebagaimana tersebut di atas terjadi pada abad pertengahan, yaitu pada saat umat islam kurang memperdulikan (meninggalkan iptek). Pada masa itu yang berpengaruh di masyarakat Islam adalah ulama tarikat dan ulama fiqih. Keduanya menanamkan paham taklid dan membatasi kajian agama hanya dalam bidang yang sampai sekarang masih dikenal sebagai ilmu-ilmu agama seperti tafsir, fiqih,dan tauhid. Ilmu tersebut mempunyai pendekatan normatif dan tarekat, tarekat hanyaut dalam wirit dan dzikir dalam rangka mensucikan jiwa dan mendekatkan diri pada Allah dengan menjauhkan kehidupan duniawi.
Sedangkan ulama tidak tertarik mempelajari alam dan kehidupan manusia secara objektif. Bahkan ada yang mengharamkan untuk mempelajari filsafat, padahal dari filsafatlah iptek bisa berkembang pesat. Kedaan ini mengalami perubahan pada akhir abad ke sembilan belas, yaitu sejak ide-ide pembaharuan diterima dan didukung oleh sebagian umat. Mereka mengkritik pengembangan sains dan teknologi modern yang dipisahkan dari ajaran agama, seperti dikemukakan oleh Muhammad Naquib al-Attas (1980/1981: 47-56) Ismail Razi al-Faruqi (1982: 3-8) dengan tujuan agar ilmu pengetahuan dapat membawa kepada kesejahteraan bagi umat manusia. Menurut para ilmuwan dan cendikiawan muslim tersebut, pengembangan iptek perlu dikembalikan pada kerangka dan perspektif ajaran Islam. Al-Faruqi menyerukan perlunya dilaksanakan islamisasi sains. Dan sejak itu gerakan islamisasi ilmu pengetahuan digulirkan, dan kajian mengenai islam dalam hubungannya dengan pengembangan iptek sebagaimana diuraikan di bawah ini mulai digali dan diperkenalkan.
Sebagaimana di ketahui bahwa salah satu gagasan yang paling canggih, amat komperhensif dan mendalam yang ditemukan didalam al-Qur’an ialah konsep ilm. Pentingnya konsep ini terungkap dalam kenyataan turunnya sekitar 800 kali. Dalam sejarah peradaban muslim, konsep ilmu secara mendalam meresap kedalam seluruh lapisan masyarakat dan mengungkapkan dirinya dalam semua upaya intelektual. Tidak ada peradaban lain yang memiliki konsep pengetahuan dengan semangat yang sedemikian tinggi dan mengajarkannya dengan amat tekun seperti itu.Menurut Munawar Ahmad Aness, bahwa dalam konsep Islam yang berdasarkan al-Qur’an, upaya menerjemahkan ilmu sebagai pengetahuan berarti melakukan suatu kejahatan. Walaupun tidak disengaja, terhadap konsep yang luhur dan multi dimensional ini. Ilmu memang mengandung unsur-unsur dari apa yang kita pahami sekarang sebagai pengetahuan. Tetapi ia juga digambarkan sebagai hikmah. Selanjutnya jika di Eropa sains dan teknologi dapat berkembang sesudah mengalahkan dominasi gereja, sedangkan dalam perjalanan sejarah Islam, lain halnya ilmu dalam berbagai bidangnya mengalaami kemajuan yang pesat di dunia Islam pada zaman klasik (670-1300 M), yaitu zaman Nabi Muhammad sampai dengan akhir masa Daulah Abbasiyah di Bagdad
Pada masa ini, dunia Islam telah memainkan peran penting baik dalam bidang ilmu pengetahuan agama maupun pengetahuan umum. Dalam hubungan ini Harun Nasution mengatakan bahwa cendikiawan-cendikiawan Islam bukan hanya ilmu pengetahuan dan filsafat yang mereka pelajari dari buku-buku Yunani, tetapi menambahkan kedalam hasil-hasil penyelidikan yang mereka lakukan sendiri dalam lapangan ilmu pengetahuan dan hasil pikiran mereka dalam ilmu filsafat. Para ilmuwan tersebut memiliki pengetahuan yang bersifat integrated, yakni bahwa ilmu pengetahuan umum yang mereka kembangakan tidak terlepas dari ilmu agama atau tidak terlepas dari nilai-nilai Islam.
C. KONSEP AJARAN ISLAM TENTANG ILMU PENGETAHUAN
Konsep ajaran Islam tentang pengembangan ilmu pengetahuan yang demikian itu didasarkan kepada beberapa prinsip sebagai berikut;
Pertama, ilmu pengetahuan dalam Islam dikembangkan dalam kerangka tauhid atau teologi. Yaitu teologi yang bukan semata-mata meyakini adanya Tuhan dalam hati, mengucapkannya dengan lisan dan mengamalkannya dengan tingkah laku, melainkan teologi yang menyangkut aktivitas mental berupa kesadaran manusia yang paling dalam prihal hubungan manusia dengan Tuhan, lingkungan dan sesamanya. Lebih tegasnya adalah teologi yang memunculkan kesadaran, yakni suatu matra yang paling dalam diri manusia yang menformat pandangan dunianya, yang kemudian menurunkan pola sikap dan tindakan yang selaras dengan pandangan dunia itu. Karena itu teologi pada ujungnya akan mempunyai implikasi yang sangat sosiologis, sekaligus antropologis.
Kedua, ilmu pengetahuan dalam Islam hendaknya dikembangkan dalam rangka bertakwa dan beribadah kepada Allah Swt. hal ini penting ditegaskan, karena dorongan al-Qur’an untuk mempelajari fenomena alam dan sosial tampak kurang diperhatikan, sebagai akibat dan dakwah Islam yang semula lebih tertuju untuk memperoleh keselamatan di akhirat. Hal ini mesti diimbangi dengan perintah mengabdi kapada Allah dalam arti yang luas, termasuk mengembangkan iptek.
Ketiga, Ilmu pengetahuan harus dikembnagkan oleh orang-orang Islam yang memilki keseimbangan antara kecerdasan akal, kecerdasan emosional dan sepiritual yang dibarengi dengan kesungguhan untuk beribadah kepada Allah dalam arti yang seluas-luasnya. Hal ini sesuai dengan apa yang terjadi dalam sejarah di abad klasik, di mana paraa ilmuwan yang mengembangka ilmu pengetahuan adalah pribadi-pribadi yang senantiasa taat beribadah kepada Allah Swt.
Keempat, Ilmu pengetahuan harus dikembangkan dalam kerangka yang integral, yakni bahwa antara ilmu agama dan ilmu umum walaupun bentuk formalnya berbeda-beda, namun hakekatnya sama, yaitu sama-sama sebagai tanda kekuasaan Allah. Dengan pandangan yang demikian itu, maka tidak ada lagi perasaan yang lebih unggul antara satu dan lainnya. Dengan menerapkan keempat macam setrategi pengembangan ilmu pengetahuan tersebut, maka akan dapat diperoleh keuntungan yang berguna untuk mengatasi problem kehidupan masyarakat modern sebagaimana tersebut di atas. Dan selanjutnya penulis akan mencoba menposisikan dimana letak filsafat ilmu dalamIslamisasi ilmu pengetahuan.
Sejak Eropa mengalami Renaisans hingga saat ini, perkembangan ilmu-ilmu rasional (’aqliyah) dalam semua bidang kajian sangat pesat dan hampir keseluruhannya dipelopori oleh ahli sains dan cendekiawan Barat. Sudah tentu ilmu yang dikembangkan ini dibentuk dari acuan pemikiran falsafah Barat, yang dituangkan dalam pemikiran yang paling berpengaruh yaitu sekularisme, utilitiarianisme dan materialisme. Pemikiran ini mempengaruhi konsep, penafsiran, dan makna ilmu itu sendiri. Sekularisasi yang melibatkan tiga komponen terpadu (penolakan unsur transenden di alma semester, perishing agama Dari politic, dan ketidakmutlakan atau relativitas) bukan saja bertentangan dengan fitrah manusia (yang merupakan tashawwur ’world view’ Islam), tetapi juga memutuskan ilmu Dari pondasinya dan mengalihkannya Dari tujuannya yang hakiki. Karenanya ilmu Barat justru menimbulkan lebih banyak masalah dan kekeliruan daripada melahirkan keharmonisan, kebaikan dan keadilan.
Al-Attas mengungkapkan pandangan ini dengan jitu: ”Ilmu (Barat) telah menimbulkan masalah, sebab ia telah kehilangan tujuan hakikinya karena tidak dicerna dengan semestinya. Akibatnya ia membawa kekacauan dalam kehidupan manusia dan bukannya kedamaian dan keadilan. Ilmu tersebut nampaknya benar tetapi sesungguhnya lebih produktif ke arah kekeliruan dan skeptisme, ilmu yang buat pertama kali dalam sejarah membawa kekacaubalauan isi alma semester: hewan, tumbuhan dan logam.”
Pemahaman ilmu dan tashawwur Barat ini menular ke negara-negara muslim setelah berlangsungnya penjajahan dimana banyak negara muslim dijajah oleh negara-negara Barat seperti Inggris dan Perancis. Sistem pendidikan yang mereka dirikan juga didukung oleh pandangan hidup Barat. Ini mengakibatkan kekeliruan, dan manusia muslim kehilangan adab.
Sebagian besar sarjana muslim sependapat bahwa sumber kekalutan yang dihadapi oleh umat Islam saat ini terletak pada sistem pendidikan Barat, karena disinilah ilmu disebarluaskan. Mereka semua yakin, penyelesaian kemelut ini terletak pada islamisasi ilmu khususnya ilmu-ilmu kontemporer (modern).
Memandang hal ini, beberapa sarjana muslim seperti S.H. Nasr, Al-Faruqi, C.A. Qadir dan juga beberapa sarjana Kristen Barat seperti Maritain, telah menganjurkan agar sifat kesakralan ilmu dihidupkan kembali, karena tanpanya ilmu hanya menjadi suatu fatamorgana (illusion).
Karena kontradiksi yang jelas antara ilmu Barat dan Islam inilah, ikhtiat terus diupayakan untuk mengatasinya dan mencegah penyebarluasan ide sekular di dunia Islam. Menurut Al-Attas,”Ilmu hendaknya dipadukan dengan unsur-unsur dan konsep-konsep pokok Islam, setelah unsur-unsur dan konseo-konsep asing dikeluarkan Dari setiap rantingnya. Proses inilah yang dimaksud dengan islamisasi atau pengislaman.” Beliau juga mengemukakan bahwa islamisasi ilmu ialah penyelamatan ilmu Dari penafsiran berdasarkan ideologi sekular dan Dari makna dan ungkapan sekular.
Banyak cendekiawan muslim yang prihatin terhadap masalah umat berkecimpung dalam islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer yang mendapatkan momentumnya pada tahun 1980-an, hasil Dari ’Kebangkitan Islam Sejagad’ pada penghujung tahun 1970-an dan ’Persidangan Pertama Pendidikan Islam Sedunia’ di Makkah pada tahun 1977 yang dihadiri oleh sarjana-sarjana tersohor.
Sekularisme dan sekularisasi yang mempenagruhi dunia Islam menyentak para sarjana muslim Dari ketidakpedulian dan merangsang mereka untuk bertindak. Pada mulanya pembahasan berbentuk penelitian analitis, dimana konsep-konsep yang terlibat seperti ’islamisasi’ dan ’ilmu’ didefinisikan dan dasar-dasar falsafahnya diuraikan. Pembahasan yang berlangsung bahkan melebihi batas yang diperkirakan sebelumnya, meliputi sains sosial, kemanusian (humaniora), dan alma.
C.  ISLAMISASI ILMU MENURUT AL-ATTAS
Yang dimaksudkan dengan islamisasi ilmu tidak lain adalah islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer atau islamisasi ilmu modern. Yang demikian ini karena ilmu-ilmu kontemporer dan modernlah yang dianggap telah mengalami sekularisasi, karena ilmu-ilmu tersebut ditemukan dan dikembangkan oleh peradaban Barat. Tidak benar jika dikatakan bahwa ilmu-ilmu tersebut dijamin universal dan bebas nilai. Syed Muhammad Naquib Al-Attas mengatakan,”Ilmu tidak bersifat netral. Ia bisa disusupi oleh sifat dan kandungan yang menyerupai ilmu.” Al-Faruqi juga menegaskan,”Barat mengklaim bahwa sains kemanusiaannya bersifat saintifik disebabkan oleh sifat netralnya, dengan menganggap fakta sebagai fakta dan membiarkannya berbicara untuk dirinya sendiri. Seperti yang sudah kita lihat, ini adalah klaim kosong, karena tidak akan ada satu persepsi teoretis bagi segala macam fakta tanpa persepsi ciri dan hubungan aksiologinya.”
Sumber dan metode penyelidikan di Barat bergantung sepenuhnya kepada kaidah empiris, rasional dan materialistik. Perolehan ilmu melalui wahyu dan kitab suci diabaikan dan dipandang rendah. Ilmu-ilmu Barat tidak berlandaskan nilai-nilai transenden dan juga tidak berkaitan dengan kepercayaan agama. Ilmu-ilmu Barat sudah sepenuhnya menjadi sekular.
Menurut Al-Attas, islamisasi ialah pembebasan akal dan bahasa manusia, Dari magis, mitos, animisme, nasionalisme buta, dan penguasaan sekularisme. Ini bermakna bahwa umat Islam semestinya memiliki akal dan bahasa yang terbebas Dari pengaruh magis, mitos, animisme, nasionalisme buta dan sekularisme. Islamisasi juga membebaskan manusia Dari sikap tunduk kepada keperluan jasmaninya yang cenderung menzhalimi dirinya sendiri, karena sifat jasmani adalah cenderung lalai terhadap hakikat dan asal muasal manusia. Dengan demikian, islamisasi tidak lain adalah proses pengembalian kepada fitrah.
Masih menurut Al-Attas, proses islamisasi ilmu mesti melibatkan dua langkah utama. Pertama, proses mengasingkan unsur-unsur dan konsep-konsep utama Barat Dari sebuah ilmu. Kedua, memasukkan unsur-unsur dan konsep-konsep utama Islam kedalamnya. Sebagaimana kita lihat, unsur-unsur dan konsep-konsep yang membentuk kepribadian dan perwatakan kebudayaan dan peradaban Barat kini telah menular kedalam semua biudang ilmu khususnya sains kemanusiaan dan kemasyarakatan. Bahkan, juga ke bidang sains alma dan terapan, khususnya yang melibatkan penafsiran fakta dan perumusan teori. Adapun unsur-unsur dan konsep-konsep asing tersebut adalah: 1) konsep dualisme antara hakikat dan kebenaran, 2) doktrin humanisme, 3) ideologi sekular, 4) konsep tragedi (khususnya dalam kesusastraan).
Sebagai gantinya, Al-Attas merekomendasikan unsur-unsur dan konsep-konsep utama Islam, yang terdiri atas: 1) konsep manusia, 2) konsep din, 3) ilmu dan ma’rifah, 4) hikmah, 5) konsep ’adl, 6) amal dan adab, 7) konsep universitas dan komprehensivitas. Semua unsur dan konsep ini hendaknya ditambatkan pada konsep tauhid, syariah, sunnah, sirah dan tarikh.
Al-Attas menolak pandangan bahwa islamisasi ilmu bisa dilakukan dengan sekadar menempelkan unsur-unsur dan konsep-konsep Islam pada unsur-unsur dan konsep-konsep asing non islami yang sudah ada. Beliau mengharuskan unsur-unsur dan konsep-konsep yang asing bagi Islam terlebih dulu dibuang, baru kemudian sebuah ilmu disuntik dengan unsur-unsur dan konsep-konsep Islam.
Tujuan islamisasi menurut Al-Attas adalah untuk melindungi umat Islam Dari ilmu yang sudah tercemar dan dengan demikian menyesatkan. Sebaliknya, dengan ilmu seorang muslim diharapkan akan semakin bertambah keimanannya. Demikian pula, islamisasi ilmu akan melahirkan keamanan, kebaikan dan keadilan bagi umat manusia.

D. ISLAMISASI ILMU MENURUT AL-FARUQI
Dalam karyanya yang masyhur, Islam­ization of Knowledge: General Principles dan Work­plan, Al-Faruqi menjelaskan pengertian islamisasi ilmu sebagai usaha untuk ’men­yusun dan membangun kembali ilmu’ yaitu men­definisikan kembali, menyusun ulang data, memikir kembali argumen dan rasional­isasi terkait dengan data itu, menilai kembali kesimpulan dan tafsiran, membentuk kembali tujuan dan melakukannya dalam kerangka visi dan perjuangan Islam.
Seperti juga Al-Attas, Al-Faruqi me­nekankan pentingnya menyusun dan mem­bangun kembali disiplin sains sosial, sains kemanusiaan dan sains alma dalam kerang­ka Islam dengan memadukan prinsip-prin­sip Islam ke dalam tubuh ilmu tersebut.
Menurut Al-Faruqi, islamisasi ilmu dapat dicapai melalui pemaduan ’ilmu­-ilmu baru’ kedalam khazanah warisan Is­lam dengan membuang, menata, menga­nalisa, menafsir ulang dan menyesuaikan­nya menurut nilai dan pandangan Islam.
Dari sudut metodologi, Al-Faruqi mengemukakan ide islamisasi ilmunya dengan bersandar pada tauhid. Menurut pandangan be­liau, metodologi tradisional tidak mam­pu memikul tugas mi karena beberapa kelemahan. Pertama, metodologi tradisional telah menyempit­kan konsep utama seperti fiqh, faqib, ijtibad dan mujtahid. Kedua, kaidah tradisional  telah memisahkan antara wahyu dan akal, dan selanjutnya memisahkan antara pemikiran dan tindakan. Ketiga, kaidah tradisional membuka ruang bagi dualisme sekular dan agama.
Sebaliknya, Al-Faruqi menggariskan beberapa prinsip dasar dalam pandangan Islam sebagai kerangka pemikiran, metod­ologi dan cara hidup Islam. Prinsip-prin­sip tersebut ialah (1) Keesaan Allah; (2) Kesatuan Penciptaan; (3) Kesatuan Kebe­naran, (4) Kesatuan Ilmu, (5) Kesatuan Kehidupan; dan (6) Kesatuan Kemanusiaan.
Al-Faruqi melampaui usaha Al-Attas dengan menggariskan satu kerangka kerja sebagai panduan untuk usaha islamisasi ilmu. Beliau menjelaskan lima tujuan dalam rangka untuk islamisasi ilmu yaitu untuk:
1. Menguasai disiplin modern
2. Menguasai warisan Islam
3. Menentukan relevansi Islam yang ter­tentu bagi setiap bidang ilmu modern
4. Mencari cara-cara sin­tesis yang kreatif antara ilmu modern dan ilmu warisan Islam
5. Membangun pemikiran Islam ke arah yang me­menuhi tuntunan Allah.
Di samping itu, Al-Faruqi menggaris­kan 12 langkah yang perlu dilalui untuk mencapai tujuan tersebut diatas. Lang­kah-langkah tersebut ialah:
1. Penguasaan disiplin modern - prinsip, metodologi, masalah, tema dan perkembangannya
2. Peninjauan ( survei) disiplin
3. Penguasaan ilmu khazanah  Islam: antologi
4. Penguasaan ilmu khazanah Islam: analisis
5. Penentuan relevansi Islam yang ter­tentu trhadap disiplin-disiplin ilmu
6. Penilaian secara kritis disiplin modern­, memperjelas kedudukan disiplin Dari sudut Islam dan memberi panduan ter­hadap langkah yang harus diambil un­tuk menjadikannya islami
7. Penilaian secara kritis ilmu warisan Is­lam, perlu dilakukan pembet­ulan terhadap kesalahpahaman.
8. Kajian masalah utama umat Islam
9. Kajian masalah manusia sejagat
10. Analisis dan sintesis kreatif
11. Pengacuan kembali disiplin dalam kerangka Islam: buku teks universitas
12. Penyebarluasan ilmu yang sudah diislamisasikan.
[2]
Dua langkah pertama untuk memas­tikan pemahaman dan penguasaan umat Islam terhadap disiplin ilmu tersebut se­bagaimana yang berkembang di Barat. Dua langkah seterusnya adalah untuk memas­tikan sarjana muslim yang tidak mengenali warisan ilmu Islam karena masalah akses kepada ilmu tersebut mungkin disebab­kan masalah bahasa akan berpeluang un­tuk mengenalinya dan antologi yang dise­diakan oleh sarjana Islam tradisional.
Analisis warisan ilmu Islam adalah untuk memahami wawasan Islam dengan lebih baik Dari sudut latar belakang se­jarah, masalah dan isu yang terlibat.
Empat langkah pertama itu seharus­nya dapat menjelaskan kepada cendeki­awan tersebut tentang sumbangan warisan ilmu islam dan relevansinya kepada bidang yang dikaji oleh disiplin ilmu itu dan tujuan kasarnya. Langkah keenam ad­alah langkah paling utama dalam proses islamisasi ini dimana kepatuhan kepada prinsip pertama dan lima kesatuan akan diperiksa sebelum sintesis kreatif dicapai dalam langkah ke-l0.







[1] Ditulis oleh Rosnani Hashim   diakes di alamat http://www.mindamadani.my/content/view/111/3/Islamisasi Ilmu
[2]Prof. Dr.h samsunizar, sejarah pendidikan islam,(kencana prenada media group: Jakarta.2009)263-270  :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar