Minggu, 25 Desember 2011

ushul fikih


BAB II
PEMBAHASAN
ISTISHHAB DAN ­ ’URF (‘‘ADAT)
A. ISTISHHAB
A. Pengertian Istishab
            Secara etimilogi istishhab itu berasal  dari kata  (الا ستصحا ب ) berarti “minta bersahabat “ atau membandingkan sesuatu yang mendekatkannya“.[1] secara  terminologi ada beberapa definisi istishhab  yang dikemukakan para ahli diantaranya:
  1. Imam al-ghazali berpegang pada dalil akal atau syara’ bukan didasarkan karena tidak menengetahui  adanya dalil, tetapi setelah dilakukan pembahasan dan penelitian cermat, diketahui tidak ada dalil mengubah hukum yang telah ada.  Maksudnya, apabila dalam suatu kasus telah ada hukumnya dan tidak diketahui dalil  yang mengubah hukum yang telah ada.
  2. Ibn hazm ( tokoh ushul fiqih zhahiriyyah ) mendinisikan istishhab adalah berlakunya hukum asal yang ditetapkan berdasarkan nash ( ayat atau hadis) sampai ada dalil lain yang menunjukkan perubahan hukum tersebut. 
  3. Ibnu al-qayim al-jawziyah, tokoh ushul fikih hambali , yaitu menetapkan hukum berlakunya sesuatu  hukum yang telah ada atau meniadakan sesuatu yang memang tidak sampai ada bukti yang mengubah kedudukannya.
Dengan demikian dapat kita pahami bahwa yang dimaksudnya dengan istishhab adalah  menetapkam hukum menurut keadaan yang terjadi sebelum sampai ada dalil  yang mengubahnya, atau dapat diartikan juga sebagai ” upaya menjadikan hukum peristiwa yang ada sejak semula hingga berlaku peristiwa berikutnya, kecuali ada dalil  yang mengubah ketentuan itu.[2]
Adapun contoh istishhab misalnya : Telah terjadi perkawinan antara laki-laki A dan perempuan B, kemudian mereka berpisah dan berada di tempat yang berjauhan selama 15 tahun. Karena telah lama berpisah itu maka B ingin kawin dengan laki-laki C. Dalam hal ini B belum dapat kawin dengan C karena ia telah terikat tali perkawinan dengan A dan belum ada perubahan hukum perkawinan mereka walaupun mereka telah lama berpisah. Berpegang ada hukum yang telah ditetapkan, yaitu tetap sahnya perkawinan antara A dan B, adalah hukum yang ditetapkan dengan istishab.
.
Dari uraian diatas maka dapat kita ketahui bahwa mengenai karakteristik dari istishhab diantaranya :
  1. Secara menyakinkan telah berlangsung suatu keadaan dalam suatu masa tertentu tentang tidak adanya hukum untuk keadaan itu karena memang tidak ada dalil yang menetapkan.
  2. Telah terjadi perubahan masa dari masa lalu ke masa kini, tetapi tidak ada petunjuk yang menyatakan bahwa keadaan dimaa lalu itu sudah berubah, juga tidak ada petunjuk  yang menjelaskan mengenai keadaan waktu itu.
  3. Terdapat keraguan tentang suatu peristiwa ( hukum) pada waktu kini, namun peristiwa tu berlangsung secara menyakinkan di masa lalu yang menyakinkan itu telah diberlakukan keberadaannya.

B. Kaidah Dalam Istishhab Dan Dasarnya
Istishhab itu berjalan atas prinsip keraguan yang mengiringi kenyakinan dan mengukuhkan pengamalan yang menyakinkan yang berlakunnya di masa lalu itu. Atas dasar ini ulama merumuskan kaidah pokok yang populer adalah :
اَلْيَقِيْنُ الاَ يُزَالُ بِاالشَّكِ
 “apa yang ditetapkan dengan sesuatu yang menyakinkan tidak dapat dihilangkan dengan sesuatu yang meragukan “
 Hal ini didasarkan kepada beberapa hadis nabi  diantaranya :
  1.  Dari Abu Hurairah menurut Riwayat muslim yaitu :

اِذَاوَجَدَ أ حَدُ كُمْ فىِ بَطْنِهِ شَيْأَ فَاَشْكَلَ عَلَيْهِ أَ خَرَ جَ مِنْهُ شَيْأَ اَ مْ الاَ فَلاَ يَخْرُ جَنَّ مِنَّ الْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتاَ ا وْ يَجِدَرِ يْحا
      Artinya :  bila salah seorang diantaramu meerasakan padanyan perutnya pada sesuatu, kemudian ia ragu apakah ada sesuatu yang keluar dari perutnya itu atau tidak, janganlah ia keluar dari masjid sampai ia mendengar suara atau mencium bau.  (H.R muslim)
  1. Dari Abu said  al-khudri menurut riwayat muslim.
اِذَا شَكَّ اَحَدُ كُمْ فِى صَلاَتِهِ فَلَمْ يَدْرِ كَمْ صَلَّى أَثَلاَثاَ أَ مْ أَرْ بَعاَ فَلْيَطْرَحِ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ عَلىَ ماَ`سْتَيْقَنَ
Artinya :“ apabila salah seorang diantaramu ragu dalam shalatnya apakah telah tiga rakaat atau empat rakaat, maka hendaklah ia buang apa yang meragukan dan mengambil apa yang menyakinkan. (H.R muslim)
C. Macam-Macam Istishhab
Ulama fikih mengemukakan bahwa istihab itu ada lima macam, yang sebagian disepakati dan sebagian lain di perselisihkan,[3] diantaranya yaitu :
1)     Istishhab Hukm Al-Ibahah Al-Ashliyyah, yaitu menetapkan hukum yang bermanfaat bagi manusia adalah boleh selama belum ada dalil yang menunjukkan keharamannya. Contoh: pepohonan yang ada di hutan merupakan milik bersama umat manusia dan masing-masing orang berhak untuk menebang dan memanfaatkan pohon dan buahnya, sampai ada bukti yang menunjukkan bahwa hutan itu menjadi milik seseorang. Dalam kaitan ini alasan yang di kemukakan para ahli ushul fikih adalah firman allah yang artinya “Dia-lah yang telah menjadikan bagi kamu seluruh yang ada dibumi ini...(Q.S albaqarah, 2: 29 ). Jadi menurut mereka kalimat “ bagi kamu “ dalam ayat tersebut menunjukkan kebolehan memanfaatkan apa-apa yang ada di bumi merupakan hak  setiap orang dan halal, selama tidak ada dalil lain yang menunjukkan bahwa hukum boleh dan halal itu berubah. Misalnya, apabila hutan yang tadinya di manfaatkan setiap orang, berdasarkan putusan pemerintah telah ditetapkan ini, maka hukum kebolehan memanfaatkan hutan tersebut menjadi tidak boleh.
2)     Istishhab yang menurut akal dan syara’ hukumnya tetap dan berlangsung terus.
Ibnu qayyim al-jauziyah, ahli ushul fikih  hambali menyebutnya washf al-tsabit li al-hukm hatta yutsbita khilafuhu ( sifat yang melekat pada suatu  hukum, sampai ditetapkan hukum yang berbeda dengan itu. Misalnya hukum wudhu’ seseorang dianggap berlangsung  secara terus sampai adanya penyebab yang membatalkannya. Apabila seseorang merasa ragu apakah wudhunya masih ada atau batal, maka berdasarkan istishhab, wudhunya dianggap masih ada, karena keraguan yang muncul terhadap batal atau tidaknya wudhu tersebut, tidak mengalahkan seseorang bahwa ia masih dalam keadaan berwudhu.
3)     istishhab terhadap dalil yang bersifat umum sebelum datangnya dalil yang memutuskannya dan istishhab dengan Nas selama tidak ada dalil Nas (yang membatalkannya).
Dalil yang menetapkan hukum umum, dapat dilaksanakan secara praktis setelah ada dalil lain yang menjelaskannya. Dallil yang menjelaskan itu disebut mukhasis. Sedangkan bentuk penjelasannya bisa dalam bentuk penjelasan arti kata, juga bisa penjelasan dalam bentuk nash atau lahir yang memberi kemungkinan  untuk diNasakh. Meng-istihhabkan dalil umum itu diamalkan menurut apa adanya sebelum menemukan dalil  yang men-takhis-nya. Begitu pula  ististhhab nash berarti  nash itu diamalkan menurut apa adanya sebelum menemukan  dalil yang me-nasakh-nya.
Contoh : istishhab dengan nash selama tidak ada dalil yang men-naskh-kannya adalah kewajiban berpuasa yang dicantumkan allah swt dalam al-qur’an dalam surah al-baqarah  ayat 183 yang artinya wahai orang-orang yang beriman diwajibkan bagi kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan bagi umat sebelumnya (al-baqarah : 183 ) kewajiban berpasa di  bulan ramadhan, yang berlaku bagi umat sebelum islam, tetapi wajib bagi umat berdasarkan ayat diatas ,selama tidak ada nash lain yang membatalkannya. Dalam kasus ini ada yang mengatakan sebagai istishhab dan ada juga yang mengatakan tidak dinamakan istishhab, tetapi berdalil berdasarkan kaidah bahasa.
4)     Istishhab hukum akal sampai datangnya hukum syar’i,
Istishhab hukum akal sampai datangnya hukum syar’i yakni umat manusia tidak dikenakan hukum-hukum syar’i sebelum datangnya syara; seperti tidak adanya pembebanan hukum dan akibat hukumnya terhadap umat manusia, sampai datangnya dalil syara’ yang menetukan hukum. Misalnya, apabila seseorang menggugat ( penggugat) orang lain (tergugat ) bahwa ia berhutang kepada penggugat sejummlah uang, maka penggugat berkewajiban untuk mengemukakan alat-alat bukti  atas tuduhan tersebut. Apabila ia tidak sanggup, maka tergugat bebas dari tuntutan dan ia dinyatakan tidak pernah berhutang pada penggugat.
5)     Istishhab hukum yang ditetapkan berdasarkan ijma’, tetapi keberadaan ijma’ itu diperselisihkan.
Istishhab hukum ijma’ adalah mengukukuhkan hukum yang ditetapkan oleh ijma’ tentang masalah yang diperdebatkan. Bentukkannya adalah ulama sepakat tentang hukum suatu kasus, kemudian ada perubahan mengenai sifat yang melatarbelakangi adanya kesepakatan ulama itu. Dalam hal ini apakah hukum yang telah ditetapkan berdasarkan ijma’ tersebut masih dapat digunakan atau tidak . misalnya : ulama telah sepakat ber-ijma’ tentang sahnya shalat orang yang bertayamunm karena tidak ada air, kemudian ketika melaksanakan shalat, ia melihat air,apakah shalatnya batal atau tidak ? dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat, karena ketiadaan air menjadi sebab bolehnya bertayamum itu sudah tidak ada. Namun ulama yang yang berpegang kepada istishhab mengatakan bahwa shalat tetap sah sampai ada dalil yang mengatakan bahwa melihat air itu membatalkan shalat.
3. Kehujahan Istishab (kedudukannya Sebagai Sumber Hukum Islam)
Para ulama ushul fiqih berbeda pendapat tentang kehujjahan istishhab ketika tidak ada dalil syara’ yang menjelaskan suatu kasus yang dihadapi.
Pertama, menurut mayoritas mutakallim ( ahli kalam ), istishhab tidak bisa dijadikan dalil, karena hukum yang ditetapkan pada masa lampau menghendaki adanya adanya dalil, damikian juga untuk menetapkan hukum yang sama pada masa sekarang dan yang akan datang, harus pula berdasarkan dalil. Alasan mereka, mendasarkan hukum pada istishhab, merupakan penetapan hukum tanpa dalil, karena sekalipun suatu hukum telah ditetapkan pada masa lampau daengan suatu dalil, namun untuk memberlakukan hukum itu untuk masa yang akan datang diperlukan dalil lain, menurutnya istishhab bukan dalil, karena menetapkan hukum yang ada pada masa lampau berlangsung terus untuk masa yang akan datang, berarti menetapkan suatu hukum tanpa dalil. Hal ini tidak dibolehkan dalam syara’.
Kedua, menurut mayoritas ulama hanafiyah, khususnya mutaakhirin ( generasi belakangan ), istishhab bisa menjadi hujjah untuk menetapkan hukum yang telah ada sebelumnya dan menganggap hukum itu tetap berlaku  pada masa yang akan datang, tetapi tidak bisa menetapkan hukum yang akan ada. Alasan mereka adalah seorang mujtahid dalam meneliti hukum suatu masalah yang sudah ada, mempunyai gambaran bahwa hukumnya sudah ada atau sudah dibatalkan. Akan tetapi, ia tidak mengetahui atau tidak menemukan dalil yang menyatakan bahwa hukum itu telah dibatalkan. Dalam kaitan ini mujtahid tersebut harus berpegang kepada hukum yang sudah ada, karena ia tidak mengetahui adanya dalil yang membatalkan hukum itu. Namun demikian, penetapan ini, hanya berlaku pada kasus yang sudah ada hukumnya dan tidak berlaku lagi bagi kasus yang akan ditetapkan hukumnya.
Ketiga. Ulama malikiyah, syafi’iyah, hanabilah, zhahiriyah  dan syi’ah berpendapat  bahwa istishhab bisa menjadi hujjah secara mutlak untuk menetapkan hukum yang sudah ada, sebelum ada dalil  yang mengubahnya. Alasannya, karena sesuatu yang telah ditetapkan pada masa lalu, selama tidak ada  dalil yang mengubahnya, baik secara qat’i ( pasti ) maupun zanni (relative), maka semestinya hukum yang telah  ditetapkan itu berlaku terus, karena di duga keras belum ada perubahannya. Menurut mereka suatu dugaan keras (zhann ) bisa di jadikan landasan hukum. Apabila tidak demikian, maka ia membawa akibat kepada tidak berlakunya seluruh hukum-hukum yang disyariatkan allah dan rasulluallah saw. Bagi generasi sesudahnya, dan terjadi pembatalan syari’at ( naskh ).Hal ini akan mengakibatkan munculnya pandangan bahwa tidak bisa dipastikan berlakunya syariat di zaman rasuluallah saw bagi generasi sesudahnya, alasannya sampai hari kiamat adalah menduga keras ( zhann) berlakunya syariat itu sampai sekarang, tanpa ada dalil yang men-nask kan.
     Mereka juga beralasan dengan ijma’, karena banyak hukum –hukum juz’i (rinci) yang telah disepakati ulama yang didasarkan pada istishhab.
B. URF ATAU ‘ADAT
1 . Pengertian ‘urf
kata ‘urf berasal dari kata ‘arafa, ya’rifu, (عرف، يعرف) seiring dengan kalimat al’ma’ruf((ا لعرف) dengan arti : seuatu yang di kenal “.[4]diantara ahli bahasa arab ada yang menyamakan dengan adat dan ‘urf tersebut.
Adapun definisi ‘adat adalah sesuatu yang dikerjakan berulang-ulang tanpa adanya hubungan rasional [5],
Definisi ini menunjukkan bahwa ‘adat itu mencakup permasalahan yang amat luas, yang menyangkut permasalahan pribadi, seperti kebisaaan tidur dan lain-lain atau permasalahan yang menyangkut orang banyak yaitu sesuatu yang berkaitan dengan hasil pemikiran yang baik dan buruk. [6]Adapun ‘urf menurut ulama ushul fikih adalah “ kebisaaan mayoritas kaum baik dalam perkataan dan perbuatan “[7] kata ‘urf digunakan dengan memandang pada kualitas perbuatan yang dilakukan, yaitu diakui, diketahui, dan diterima oleh orang banyak. Jadi kata ‘urf itu mengandung konotasi baik.
Dapat kita pahami bahwa ‘urf merupakan bagian dari ‘adat , karena ‘adat lebih umum dari’urf, karena ‘urf berlaku pada kebanyakan orang didaerah tertentu, bukan pada pribadi atau kelompok tertentu dan ‘urf bukanlah kebisaaan alami sebagaimana yang berlaku pada kebanyakan adat, tetapi muncul dari suatu pemikiran dan pengalaman. Namun  antara ‘adat dan ‘urf mempunyai persamaan yakni : Suatu perbuatan yang telah berulang –ulang dilakukan dikenal diakui orang banyak, maka perbuatan itu dilakukan secara berulang kali.dengan demikian meskipun dua kata tersebut dapat dibedakan tetapi perbedaannya tidak berarti.
2. Macam –Macam ‘Urf
Penggolongan macam-macam ‘urf  atau ‘‘adat itu dapat dilihat dari beberapa segi:
1. ditinjau ari segi materi :
a.      ‘Urf qauli, yaitu kebisaaan yang berlaku dalam penggunaan kata-kata atau ucapan dalam mengungkapkan sesuatu. Misalnya, kata lahm yang artinya daging “ baik daging sapi, ikan, atau hewan lainnya. Pengerian umum daging ini juga mencakup daging ikan sebagaimana yang terdapat dalam al-qur’an dalam surah An-Nahl yang artinya “allah yang memudahkan laut untukmu supaya kamu dapat memakan ikannya yang segar.(An-Nahl :14). Namun ‘adat kebisaaan berbahasa sesehari-hari dikalangan orang arab, kata lahmun itu tidak digunakan untuk ikan. karena itu, jika seseorang bersumpah “ Demi allah saya tidak akan memakan daging”, tetapi kemudian ia memakan daging ikan, maka menurut ‘adat masyarakat arab, orang tersebut tidak mmelanggar sumpah.
b.      ‘Urf fi’li yaitu kebisaaan yang berlaku dalam perbuatan, misalnya ; kebisaaan jual beli barang  tranksaksi antara penjual dan pembeli tidak perlu akad ijab/qabul, namun hanya menunjukkan barang serta serah terima barang dan uang. Namun hal ini tidak menyalahi aturan akad dalam jual beli.
2. Dilihat dari segi ruang lingkup penggunaannya :
a.      Adat atau‘urf umum, yaitu kebisaaan yang telah umum berlaku dimana-mana, hampir diseluruh dunia, tanpa memandang Negara, bangsa, dan agama. Misalnya : menggangguk kepala tanda menyetujui dan menggelengkan kepala tanda menolak dan menidakkan. Kalau ada orang yang berbuat kebalikan itu maka dianggap aneh.
b.      Adat atau‘urf khusus, yaitu kebisaaan yang dilakukan sekelompok orang ditempat tertentu atau pada waktu tertentu, tidak berlaku di semua tempat dan disembarang waktu. Misalnya : anak menarik garis keturunan melalui garis ibu atau permepuan (matrilineal) di minangkabau dan melalui bapak (patrilineal ) dikalangan suku batak.
3. Dilihat dari Penilaian baik dan buruk,‘urf atau ‘adat dibagi kepada :
a.      Adat yang sahih, yaitu ‘adat yang berulang –ulang dilakukan , diterima oleh banyak orang, tidak bertentangan dengan agama, sopan santun, dan budaya luhur. Misalnya: memberikan suatu hadiah sebagai suatu penghargaan atas suatu prestasi.
b. ‘Adat yang fasid, yaitu ‘adat yang berlaku disuatu tempat meskipun merata pelaksanaannya, Namun bertentangan degan agama,  undang-undang Negara dan sopan santun.misalnya : Pesta dengan menghidangkan minum-minuman keras.
3. Kehujahhan‘Urf  Dalam Menetapkan Hukum
Dalam proses pengambilan hukum urf atau adat hampir selalu dibicarakan secara umum. Namun telah dijelaskan di atas bahwa ’urf dan ‘adat yang sudah diterima dan diambil oleh syara` atau yang secara tegas telah ditolak oleh syara` tidak perlu diperbincangkan lagi tentang alasannya
Secara  umum ’urf atau ‘adat diamalkan oleh semua ulama fiqh terutama di kalangan madzhab Hanafiyyah dan Malikiyyah.
Ulama Hanafiyyah menggunakan istihsân (salah satu metode ijtihad yang mengambil sesuatu yang lebih baik yang tidak diatur dalam syara` dalam berijtihad, dan salah satu bentuk istihsân itu adalah istihsân al-’urf (istihsân yang menyandarkan pada ’urf). Oleh ulama Hanafiyyah, ’urf itu didahulukan atas qiyâs khafî(qiyâs yang ringan) dan juga didahulukan atas nash yang umum, dalam arti ’urf itu men-takhshîs nash yang umum.
Ulama Malikiyyah menjadikan ’urf yang hidup di kalangan penduduk Madinah sebagai dasar dalam menetapkan hukum. Ulama Syâfi`iyyah banyak menggunakan ’urf dalam hal-hal yang tidak menemukan ketentuan batasan dalam syara` maupun dalam penggunaan bahasa.
       Dalam menanggapi adanya penggunaan ’urf  dalam fiqh,al-Suyûthî mengulasnya dengan mengembalikannya kepada kaidah al-‘âdat muhakkamah (‘adat itu menjadi pertimbangan hukum). [8]Adapun alasan para ulama mengenai penggunaan (penerimaan )  mereka terhadap ‘urf tersebut adalah hadis yang berasal dari abduallah ibn mas’ud yang dikeluarka imam ahmad yang artinya : apa-apa yang dilihat oleh umat islam sebagai suatu yang baik, maka yang demikian disisi allah adalah baik.(H.R Ahmad ).
4.Syarat-Syarat ‘Urf Atau ‘Adat
1.‘Adat atau ‘urf bernilai baik dan dapat diterima oleh akal sehat, baik yang bersifat umum dan khusus maupun yang bersifat perbuatan dan ucapan.
2.Adat atau ‘urf itu berlaku umum dan merata dikalangan orang –orang yang berada dalam lingkungan ‘adat itu dikalangan sebagian besar warganya.
3.Adat atau‘urf yang dijadikan sandaran dalam penetapan hukum itu telah ada (berlaku ) pada saat itu, bukan ‘urf yang muncul kemudian. Hal ini berarti ‘urf harus telah ada sebelum penetapan hukum. kalau urf datang kemudian maka tidak diperhitungkan.
4.Adat tidak bertentangan dan melalaikan syara’ yang ada atau bertentangan dengan prinsip yang pasti.
       Dari uraian diatas jelaslah bahwa ‘urf atau ‘adat itu digunakan sebagai landasan dalam menetapkan hukum. Namun penerimaan ulama atas ‘adat itu bukanlah karena semata-mata  ia bernama ‘adat atau urf .’urf atau ‘adat bukanlah dalil yang berdiri sendiri. ‘adat atau urf itu menjadi dalil karena adanya yang mendukung, atau ada tempat sandarannya, baik dalam bentuk ijma’ atau maslahat. ‘adat yang berlaku yang berlaku dikalangan umat berarti telah diterima sekian lama secara baik oleh umat. Bila semua ulama telah mengamalkan , berarti secara tidak langsung telah terjadi ijma’ walaupun dalam bentuk sukuti. ‘adat itu berlaku dan diterima orang banyak karena mengandung kemaslahatan. tidak memakai ‘adat seperti ini berarti menolak maslahat, sedangkan semua pihak telah sepakat untuk mengambil sesuatu yang bernilai maslahat, meskipun tidak ada nash secara langsung mendukung.  




[1]  Nasrun harun, ushul fiqih ,jakarta : logos wacana ilmu ,1997 h : 128
[2] H. Alaidin koto, ilmu fiqih dan ushul fiqih ( sebuah pengantar ), jakarta:  PT raja grafindo persada, 2009 h: 111
[3] H. Nasrun haroen ,ushul fiqih, (jakarta : logos wacana ilmu ,1997 ) h: 129
[4] H. Amir syarifuddin, ushul fiqih ,( jakarta:kencana prenada group, 2009 ) h:387
[5] H. Nasrun haroen, ushul fiqih ,h: 138
[6] Ibid h: 138
[7] Ibid : 138
[8] H. Amir syarifuddin, ushul fiqih, h: 400

Tidak ada komentar:

Posting Komentar