Minggu, 25 Desember 2011

makalah ushul fikih

BAB II
PEMBAHASAN
MUTLAQ DAN MUQAYYAD
A. Pengertian Mutlaq dan Muqayyad                                                             
Mutlaq secara bahasa artinya tidak terikat, kebalikan muqayyad. Secara istilah ada beberapa pengertian yang dihimpun oleh Amir Syarifuddin dalam bukunya “Ushul Fiqh”, yang diambil dari berbagai sumber, yaitu :
1.     Menurut Khudhari Beik, mutlaq ialah lafadz yang memberi petunjuk terhadap satu atau beberapa satuan yang mencakup tanpa ikatan yang terpisah secara lafdzi.
2. Menurut Abu Zahrah, mutlaq ialah lafadz yang memberi petunjuk terhadap maudhu’nya tanpa memandang kepada satu, banyak, atau sifatnya, tetapi memberi petunjuk kepada hakikat  sesuatu menurut apa adanya.
3.  Ibnu Subki memberikan definisi bahwa mutlaq adalah lafadz yang memberi petunjuk kepada hakikat sesuatu tanpa ikatan apa-apa.
Dari ketiga pengertian di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa mutlaq adalah lafadz yang mencakup pada jenisnya tetapi tidak mencakup seluruh afrad di dalamnya. Contoh firman Allah berikut ini :
وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا (المجادلة:3)
“Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur.”
Lafadz “raqabah” (hamba sahaya) termasuk lafadz mutlaq yang mencakup semua jenis raqabah (hamba sahaya) tanpa diikat atau dibatasi sesuatu yang lain. Maksudnya bisa mencakup raqabah laki-laki atau perempuan, beriman atau tidak beriman.  Jika dilihat dari segi cakupannya, maka lafadz mutlaq adalah sama dengan lafadz ‘am. Namun keduanya tetap memiliki perbedaan yang prinsip, yaitu lafadz ‘am mempunyai sifat syumuli (melingkupi) atau kulli (keseluruhan) yang berlaku atas satuan-satuan,  sedangkan keumuman dalam lafadz mutlaq bersifat badali (pengganti) dari keseluruhan dan tidak berlaku atas satuan-satuan tetapi hanya menggambarkan satuan yang meliputi.
Hukum yang datang dari ayat yang berbentuk mutlaq, harus diamalkan berdasarkan kemutlaq-annya, sebagaimana contoh ayat 3 surat al-Mujadalah di atas. Dengan demikian kesimpulan hukumnya adalah bahwa seorang suami yang men-dzihar istrinya kemudian ingin menarik kembali ucapannya, maka wajib memerdekakan hamba sahaya, baik yang beriman ataupun yang tidak beriman.
Muqayyad secara bahasa artinya sesuatu yang terikat atau yang diikatkan kepada sesuatu. Pengertian secara istilah ialah suatu lafadz yang menunjukkan hakikat sesuatu yang terikat dengan suatu seperti sifat. Contohnya ialah lafadz “raqabah mukminah” (hamba sahaya yang beriman) yang terdapat dalam firman Allah :
 وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ (النساء:  93)
“Dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman”.
Kata “raqabah” (hamba sahaya) dalam ayat ini memakai qayid atau ikatan yaitu mukminah. Maka ketentuan hukum dari ayat ini ialah siapa pun yang melakukan pembunuhan atau menghilangkan nyawa seseorang tanpa sengaja, maka dikenai denda atau diyat, yaitu harus memerdekakan hamba sahaya yang beriman.
Oleh karena itu, setiap ayat yang  datang dalam bentuk muqayyad, maka harus diamalkan berdasarkan qayid yang menyertainya, seperti ayat raqabah di atas.
B. Membawa Hukum Mutlaq kepada Muqayyad
Apabila nash hukum datang dengan bentuk mutlaq dan pada sisi yang lain dengan bentuk muqayyad, maka  menurut ulama ushul ada empat kaidah di dalamnya, yaitu:
1.   Jika sebab dan hukum yang ada dalam mutlaq sama dengan sebab dan hukum yang ada dalam muqayyad.   Maka dalam hal ini  hukum yang ditimbulkan oleh ayat yang mutlaq tadi harus ditarik atau dibawa kepada hukum ayat yang berbentuk muqayyad.
Contoh:
a.       Ayat mutlaq:
Surat al-Maidah ayat 3 tentang darah yang diharamkan, yaitu:  
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ (المائدة:3)
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah  daging babi...”
Ayat ini menerangkan bahwa darah yang diharamkan ialah meliputi semua darah tanpa terkecuali, karena lafadz “dam” (darah) bentuknya mutlaq tidak diikat oleh sifat atau hal-hal lain yang  mengikatnya.
Adapun sebab ayat ini ialah “dam” (darah) yang di dalamnya mengandung hal-hal bahaya bagi siapa yang memakannya, sedangkan hukumnya adalah haram. 
b.   Ayat Muqayyad:
  Surat al-An’am ayat 145, dalam masalah yang sama yaitu “dam” (darah) yang diharamkan.
قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا (الأنعام:145)
 “Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir”.
Lafadz “dam” (darah) dalam ayat di atas  berbentuk muqayyad, karena diikuti oleh qarinah atau qayid yaitu  lafadz “masfuhan” (mengalir).  Oleh karena itu  darah yang diharamkan  menurut ayat ini ialah  “dam-an masfuhan” (darah  yang mengalir).
Sebab dan hukum antara ayat al-An’am ayat 145 ini  dengan  surat al-Maidah ayat 3 adalah sama yaitu masalah darah yang diharamkan.
Berdasarkan kaidah bahwa “Apabila sebab dan hukum yang terdapat dalam ayat yang mutlak sama dengan sebab dan hukum yang terdapat pada ayat yang muqayyad, maka pelaksanaan hukumnya ialah yang mutlak dibawa atau ditarik kepada muqayyad.” Dengan demikian hukum yang terdapat dalam ayat 3 surat al-Maidah yakni darah yang diharamkan  harus dipahami darah yang mengalir sebagaimana surat al-An’am ayat 145.
2.       Jika sebab yang ada dalam mutlaq dan muqayyad sama tetapi hukum keduanya berbeda, maka dalam hal ini yang mutlaq tidak bisa ditarik kepada muqayyad.
Contoh:
a.       Ayat mutlaq :
Surat al-Maidah ayat 6 tentang tayammum, yaitu:
....فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ....( المائدة:6)
“Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah...
Lafadz “yad” (tangan) dalam ayat di atas berbentuk mutlaq karena tidak ada lafadz lain yang mengikat lafadz “yad” (tangan). Dengan demikian kesimpulan dari ayat ini ialah keharusan menyapukan tanah ke muka dan kedua tangan, baik itu hingga pergelangan tangan atau sampai siku, tidak ada masalah. Kecuali jika di sana ada dalil lain seperti hadits yang menerangkan tata cara tayammum oleh Nabi yang memberikan contoh mengusap tangan hanya sampai pergelangan tangan.
b.       Ayat Muqayyad:
Surat al-Maidah ayat 6 tentang wudhu’, yaitu:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ  ...(المائدة:6)
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku...”
Lafadz “yad” (tangan) dalam ayat ini berbentuk muqayyad karena ada lafadz yang mengikatnya yaitu “ilal marafiqi” (sampai dengan siku). Maka berdasarkan ayat tersebut mencuci tangan harus sampai siku.
          Sebab dari ayat di atas adalah sama dengan ayat mutlaq yang sebelumnya yaitu keharusan bersuci untuk mendirikan shalat, akan tetapi hukumnya berbeda. Ayat mutlaq sebelumnya menerangkan keharusan menyapu dengan tanah, sedang ayat muqayyad menerangkan keharusan mencuci dengan air. Maka ketentuan hukum yang ada pada ayat mutlaq tidak bisa ditarik kepada yang muqayyad. Artinya, ketentuan menyapu tangan dengan tanah tidak bisa dipahami sampai siku, sebagaimana ketentuan wudhu’ yang mengharuskan membasuh tangan sampai siku. Dengan demikian ayat mutlaq dan muqayyad berjalan sesuai dengan ketentuan hukumnya sendiri-sendiri tidak bisa dijadikan satu.
3.     Jika sebab yang ada pada mutlaq dan muqayyad berbeda, tetapi hukum keduanya sama, maka yang mutlaq tidak bisa dipahami dan diamalkan sebagaimana yang muqayyad. Contoh ;
a.       Mutlaq
Surat al-Mujadalah ayat 3 tentang kafarah dzihar yang dilakukan seorang suami kepada istrinya.
وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا ...(المجادلة:3)
“Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur.”
Lafadz “raqabah” (hamba sahaya) dalam masalah dzihar ini berbentuk mutlaq karena tidak ada lafadz yang mengikatnya. Sehingga seorang suami yang sudah terlanjur men-dzihar istrinya dan ingin ditarik ucapannya, maka sebelum mencampurinya harus memerdekan hamba sahaya atau budak, baik yang beriman ataupun yang tidak.
b.       Muqayyad
                     Surat an-Nisa’ ayat 92 tentang kafarah qatl (pembunuhan)  yang tidak sengaja, yaitu :
وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ (النساء:92)
“dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman.”
Lafadz “raqabah” (hamba sahaya) dalam ayat ini berbentuk muqayyad dengan diikat lafadz “mukminah” (beriman), maka hukumnya ialah keharusan untuk memerdekakan hamba sahaya yang beriman.  Karena sebabnya berbeda, satu masalah kafarah dzihar dan yang lain kafarah qatl, walaupun hukumnya sama-sama memerdekakan hamba sahaya, namun tetap diamalkan sesuai dengan ketentuannya masing-masing. Ayat mutlaq berjalan berdasarkan kemutlaq-annya, sedang yang muqayyad berjalan berdasarkan kemuqayyadannya.
4.   Jika sebab dan hukum yang ada pada mutlaq berbeda dengan sebab dan hukum yang ada pada muqayyad, maka yang mutlak tidak bisa dipahami dan diamalkan sebagaimana yang muqayyad.
Contoh:
a.       Mutlaq
Masalah had pencurian yang terdapat dalam surat al-Maidah ayat 38 yang berbunyi :
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ ( المائدة:38)
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah.”
          Lafadz “yad” dalam ayat di atas berbentuk mutlaq, yakni keharusan memotong tangan tanpa diberi batasan sampai daerah mana dari tangan yang harus dipotong.
b.       Muqayyad
Masalah wudhu’ yang dijelaskan dalam surat al-Maidah ayat 6, yaitu:
يَا أَيُّهَا الّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ (المائدة:6)
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku.”
Lafadz “yad” dalam ayat wudhu’ ini berbentuk muqayyad karena diikat dengan lafadz “ilal marafiqi” (sampai dengan siku). Ketentuannya hukumnya adalah kewajiban mencuci tangan sampai siku.
Dari dua ayat di atas terdapat lafadz yang sama yaitu lafadz “yad”. Ayat pertama  berbentuk mutlaq, sedangkan yang kedua berbentuk muqayyad. Keduanya mempunyai sebab dan hukum yang berbeda. Yang mutlaq berkenaan dengan pencurian yang hukumannya harus potong tangan. Sedangkan yang muqayyad berkenaan masalah wudhu’ yang mengharuskan membasuh tangan sampai siku. Dari sini dapat disimpulkan bahwa yang mutlaq tidak bisa dipahami menurut yang muqayyad.
 C. Hal- hal yang diperselisihkan dalam mutlaq dan muqayyad .
  1. Kemutlakasan dan kemuyaqayaddan terdapat pada sebab hokum, namun masalah( maudhu) dan hukumnya sama. Menurut ulama hanafiyah, malikiyyah ,dan hanafiyah dalam masalah ini wajib membawa mutlaq kepada muqayyad.
Oleh sebab itu meeka tidak mewajibkan zakat fitrah kepada hamba sahaya. Sedangkan ulama hanafiyah tidak mewajibkan lafaz mutlaq dan muqayyad. Oleh sebab itu ulama hanafiyah mewajibkan zakat fitrah atas hamba sahaya secara mutlaq.
  1. Mutlaq dan muqayyad terdapat pada nash yang sama hukumnya, namun sebabnya berbeda. Masalah ini juga diperselisihkan, menurut ullama hanafiyah tidak boleh membawa mutlaq pada muqayyad, melainkan masing-masing berlaku sesuai dengan sifatnya, oleh sebab itu ulama hanafiyah., pada kafarat zihar mensyaratkan hamba mukmin. Sebaliknya menurut jumhur ulama, harus membawa mutlaq kepada muqayyad secara mutlaq. Namun menurut sebagaian ulama safi’iyah, mutlaq dibawa muqayyad apabila ada illat hokum yang samayakni dengan jalan qiyas [1]
Adapun alas an masing-masing golongan adalah sebagai berikut :
    1. Alasan hanafiyah
Merupakan suatu prinsip bahwa kita melaksanakan dalalah lafaz atas semua hokum yang dibawa saja, sesuai dengan sifatnya, sehingga lafaznya mutlaq tetap pada kemutlakannya dan lafaznya muqayyad dannya. Tiap-tiap nash merupakan hujjah yang berdiri sendiri. Pembatasan terhadap keluasan makna yang terkandung pada mutlaq tanpa dalil Dari lafaz itu sendiri berarti mempersempit bukan Dari perintah syara’. Berdasarkan pada ini, lafaz mutlaq tidak bisa di bawa muqayyad, kecuali apabila terjadi saling menafikan anatara dua hokum, yakni sekiranya mengamalkan salah satunya membawa pada taqanud (saling bertentanngan).
    1. Alasan jumhur.
Al-qur’an merupakan kesatuan hokum yang utuh dan antara ayat satu dengan ayat yag lainnya saling berkaitan, apabila ada suatu kata  dalam al-qur’an yang menjelaskan hokum berarti hokum itu sama pada setiap tempat yang terdapat pada kata itu. (as-syafi’i).alasan kedua muqayyad itu harus menjadi dasar untuk menafikan dan menjelaskan maksud lafaz mutlaq, sebab mutlaq itu bisa kedudukannya sebagai orang diam, yang tidak menyebut qayiid. Disini tidak ada mneybutnya qayiyd , dan tidak pula menolaknya, sedangkan muqayyid sebagai orang yang berbicara, yang menjelaskan adanya taqyyid. Disini tampaknya jelas adanya kewajiban memakai qayyid ketika adanya dan menolak apabila tidak adanya. Sedangkan kedudukannya sebagai penafsir. Oleh sebab itu, ia lebih baik dijadikan sebagi dasar untuk menjelaskan maksud mutlaq. [2]



[1] Prof. DR.rahmaat syafe’i, MA. Ilmu ushul fikih.bandung : pustaka setia ,2007) h: 214
[2] Ibid : 214

Tidak ada komentar:

Posting Komentar